Hari ini, 123 tahun lalu, seorang
filsuf asal Indonesia lahir. Ia mempunyai pemikiran yang sangat kritis dengan
semangat perjuangan kemerdekaan Indonesia yang besar. Dikenal juga sebagai
penggerak sayap kiri di negeri ini, ialah
Tan Malaka!
Lahir di Sumatera Barat, tanggal 2
Juni 1897, Tan Malaka yang bernama asli Sutan Ibrahim dibesarkan dalam keluarga
semi-bangsawan dan mendapatkan akses ke dunia pendidikan. Pada Oktober 1913, ia
berangkat ke Belanda dan bersekolah di Rijkskweekschool. Setelah Revolusi Rusia
pada 1917, Tan Malaka kemudian sangat tertarik dengan sosialisme dan komunisme.
Ia membaca buku-buku Marx, Engels, Lenin, sampai Nietzsche. Dua tahun berselang
dan ia kembali ke Sumatera Barat untuk mengajar.
Tan Malaka menulis banyak karya tersohor,
seperti Madilog, Gerpolek, dan Menuju Republik Indonesia. Tulisan pengantar ini
akan membahas tentang Filsafat yang diambil dari Bab II buku Madilog. Apabila
kita menonton pertandingan sepakbola, maka kita memisahkan antara pemain klub
satu dengan pemain klub lainnya. Hal ini membuat kita dapat mengetahui, siapa
kalah dan menang, siapa yang baik permainannya dan siapa yang tidak. Kejadian
yang sama juga akan terjadi ketika kita memasuki pustaka Filsafat dengan
memisahkan arah pikiran para ahli Filsafat. Kalau tidak, maka kita akan bingung
dan tidak dapat memisahkan mana yang benar atau salah, tidak mengetahui tujuan
masing-masing.
Dalam Filsafat juga ada dua kubu, kaum idealis dengan kaum materialis. Kaum idealis ini umumnya memihak kepada kaum yang berpunya dan berkuasa, sedangkan kaum materialis berpihak pada kaum proletar dan yang tertindas. Contohnya, kepada barisan idealis kita dapat menemukan Plato, Hume, Berkeley, dan Hegel. Sedangkan barisan materialis diisi Heraklitus, Epikurus, Diderot, Lamartine, Marx, dan Engels. Bagi Tan, idealisme itu takkan pernah mati selama ada kaum yang menindas. Di satu sisi, mereka mengemukakan segala ide dan intelektualitasnya, tetapi di lain sisi, mereka memakai kemegahan untuk meninabobokan kaum pekerja. Sesuai dengan perjuangan kelas, idealisme membentuk dirinya agar cocok dengan keadaan kelas yang memegangnya.
Hal ini akan merunut ke pragmatisme, misalnya John Dewey yang
lahir dari negara "the biggest of all" berdasarkan objective truth.
Padahal, kalau ditelaah lebih dalam, objective truth ini bergantung pada paham,
cita-cita, dan perasaan borjuasi Amerika dengan slogan "the country of the
free"nya. Negara merdeka ialah borjuasi Amerika. Dewey mengambil
masyarakat dan paham borjuis ini sebagai titik mula berpikir. Bagi buruh-buruh,
objective truth ini tidak begitu objektif. Semua barang yang memberi ketenangan
seperti harta benda, polisi, dan hak milik turun temurun disebutkan oleh Tan
sebagai benda yang mengacaukan paham, perasaan, dan kehidupan kaum proletar. Dalam
kalangan proletar sendiri, diluarnya merupakan materialisme tetapi pada
dasarnya terdapat idealisme. Contoh konkretnya ialah Lenin yang menjadikan
empirisme-kritisisme, machinisme neo vitalisme, dan lainnya sebagai idealisme
filsafat mereka.
Bagi Tan, perjuangan kelas tertutup
dan terbuka merupakan arti filsafat yang sebenarnya dari Dialektika. Ia boleh
melayang tinggi seperti Hegelian dan tinggal di tanah seperti dialektis
materialisme (orang harus makan dulu sebelum berpikir, kata Engels). Tetapi,
filsafat itu merupakan bayangan masyarakat yang bertentangan, bukan Ide Absolut
seperti yang dikatakan Hegel. Filsafat itu timbul pokok, yang jadi persoalan
ialah "semua ini". Ahli filsafat bertanya: "semuanya ini, bumi,
langit, dan pikiran, apakah artinya?" Lama-lama, persoalan "semua
ini" tercerai berai. Contohnya menjadi astronomi (Galilei, Copernicus),
geografi, geologi, ilmu alam, ilmu kimia, ilmu listrik, tumbuhan, manusia, dan
puluhan hingga ratusan ilmu lain.
Masing-masing ilmu yang berasal dari
filsafat ini kemudian terus terpecah dengan kemajuan kebudayaan manusia,
misalnya kini ada ilmu perniagaan dan aeronautika. Tetapi bagi Tan, hal ini
juga dapat menjadi bahaya. Ilmu-ilmu yang saling berhubungan satu sama lain
ini, lama kelamaan akan menghilangkan perhubungan satu ilmu dengan ilmu yang
lain. Lupa garis besar, karena senantiasa memperhatikan garis yang kecil-kecil
saja. Upaya semacam inilah sekarang yang sering diartikan oleh filsafat.
Filsafat purbakala yang bertanya
"apakah artinya alam dan apakah artinya pikiran" berubah menjadi
filsafat ketuhanan pada middle ages oleh kaum skolastik. Kemudian menyusut
menjadi memikirkan jiwa dan tubuh. Kemudian psikologi kerja otak (the working
of mind). Ilmu ini tak lagi direnungkan dalam pikiran, tetapi sudah dimasukkan
ke laboratorium. Disinilah otak manusia dan binatang dipisah, diperiksa,
dieksperimenkan.
"Ketahuilah dirimu sendiri"
dari Socrates kini beralih ke "the working of mind".
Filsafat bertukar rupanya dan
terpecah belah menjadi beberapa ilmu yang berdasarkan eksperimen. Engels sudah
mendapat kesimpulan, bahwa sisanya filsafat ialah Dialektika dan Logika. Semua
cabangnya yang lain jatuh ke bermacam ilmu alam dan sejarah.
Karena itu, setelah menulis Bab II
dari Madilog ini, Tan membahas cukup panjang dan mendetail tetang dialektika
dan logika, proporsinya jauh lebih besar daripada ia membicarakan filsafat
dengan seluruh sejarah modernnya yang runut.
Tan mengakhiri pemikirannya tentang
Filsafat dengan kutipan dari Marx:
Para ahli filsafat sudah memberi bermacam-macam
pemandangan tentang dunia itu. Yang perlu ialah menukar (merubah) dunia itu!
Pandangan Tan sangat menarik, ia
membahas dengan lugas filsafat dunia, terutama dalam jaman modern. Ia membahas
fasisme, anarkisme, krachtpatser, dan lainnya dengan sangat padat. Ia merupakan
salah satu filsuf Indonesia terjenius, bersanding dengan Driyarkara dan K.H
Dewantara.
sumbe r:
[1]. Tan Malaka: Revolutionary or
Renegard (Helen Jarvis)
[2]. Madilog (Tan Malaka)
Post a Comment