Sebuah pemandangan unik bakal tersaji di jalan menuju Danau
Linouw di Kabupaten Tomohon, Sulawesi Utara (Sulut). Saat memasuki sepotong
jalan beraspal mulus sekitar tiga kilometer menjelang danau vulkanik seluas 340
hektare itu, mata akan tertuju pada deretan rumah-rumah kayu dengan bentuk dan
motif yang nyaris seragam. Rumah-rumah berkelir cokelat dan berbentuk panggung
itu tak tampak dihuni manusia, meski dari luar tampilannya seperti rumah baru.
Rupanya rumah panggung tadi tidak untuk ditempati melainkan untuk dijual.
Kawasan yang bernama Desa Woloan di Kecamatan Tomohon Barat
ini, masyarakatnya dikenal sebagai perajin rumah panggung khas Minahasa. Suara
raungan gergaji mesin ditingkahi ketukan pahat dan martil telah menjadi
keseharian di desa ini. Begitu pula dengan pemandangan ratusan kayu balok aneka
ukuran terhampar di tiap lahan kosong tak jauh dari rumah-rumah panggung yang
sedang dikerjakan. Kayu merupakan bahan baku utama untuk pembuatan rumah
panggung.
Rumah panggung berukuran lebih kecil dibandingkan dengan
rumah panjang di Kalimantan. Mengingat rumah ini hanya dihuni oleh satu
keluarga saja. Dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Minahasa yang
ditulis oleh Jessy Wenas, diceritakan bahwa dulu bangunan rumah adat Minahasa
dibuat dengan teknik ikat, yaitu menempel pada pohon yang tinggi. Hal ini
dilakukan untuk menghindari banjir dan gangguan binatang buas.
Kemudian, pada 1850 peneliti dari Belanda bernama WR Van
Hoevell mencatat adanya perubahan yang terjadi pada rumah adat yang dipakai
oleh suku Minahasa. Dari semula menempel pada pohon, kemudian berubah menjadi
rumah panggung yang bertahan hingga kini. Dalam bahasa setempat, rumah panggung
ini disebut sebagai wale meito'tol atau rumah berpilar balok kayu.
Ada juga rumah berpilar batu atau disebut dengan wale weiwangin. Kedua
jenis rumah panggung ini merupakan rumah adat suku Minahasa.
Kayu yang dipakai untuk pembuatan rumah panggung adalah kayu
besi (Instia bijuga). Kayu besi dipakai sebagai bahan utama struktur atau
rangka rumah sedangkan kayu cempaka (Elmerrillia ovalis) dan kayu nyatoh (Palaquium
spp) digunakan untuk melapisi interior atau bagian dalam rumah. Kayu besi
dipilih karena tahan terhadap rayap dan memiliki sifat yang kokoh. Selain itu,
kayu ini juga awet karena mampu menopang rumah hingga berusia ratusan tahun.
Kayu besi umumnya dipasok dari hutan di daerah Bolaang Mongondow, Sulut.
Sistem Bongkar Pasang
Rumah panggung ini dibuat dengan sistem bongkar pasang
atau knock-down. Artinya, setiap model rumah dapat dipereteli kembali
setelah selesai dibuat. Ada berbagai tipe rumah panggung dibuat para perajin,
mulai dari yang berukuran luas 36 meter persegi hingga 200 meter persegi
sanggup mereka kerjakan. Para perajin pun dapat mengerjakan rumah panggung
dengan bentuk serta ukuran sesuai keinginan si pembeli. Harga jual setiap rumah
panggung berbeda-beda, mulai dari puluhan juta bahkan hingga miliaran rupiah.
Rumah panggung memiliki beberapa bagian. Pada ruang depan
yang terbuka tanpa dinding disebut dengan loloan (fores). Masuk lebih ke dalam,
akan ditemui beberapa ruangan, seperti ruang tamu dan kamar tidur. Ada juga
loteng yang digunakan untuk menyimpan hasil panen atau juga digunakan sebagai
tempat menjemur pakaian. Pada bagian belakang terdapat ruangan dapur (rarampoan).
Dapur dibuat terpisah dari rumah induk untuk menghindari kebakaran.
Rumah panggung Minahasa mempunyai dua tangga, yaitu di bagian
kiri dan kanan. Tiang utama rumah disebut dengan ari’i, yang pada bagian
atasnya terdapat pintu masuk. Pada bagian badan rumah terdapat jendela (tetemboan)
yang diukir hiasan berupa gambar bunga atau tanaman. Konstruksi tumpangan balok
yang melintang di atas tumpangan balok memanjang disebut dengan kalawit.
Sedangkan konstruksi berbentuk huruf X disebut sumpeleng.
Konstruksi-konstruksi tersebut saling berkait dan membentuk pondasi rumah yang
kokoh. Uniknya meski bagian-bagian konstruksi direkatkan tanpa menggunakan satu
pun paku, saat terjadi gempa, rumah adat Minahasa hanya akan bergeser tanpa
mengalami kerusakan pada bagian-bagiannya.
Keunikan bentuk dan coraknya membuat rumah panggung ini
diminati banyak orang. Tak hanya menerima pesanan dari sekitar Tomohon,
rumah-rumah panggung ini juga banyak diminati pembeli dari sekitar Sulawesi.
Bahkan sudah menyebar hingga ke seluruh Nusantara. Tak hanya dipesan oleh
pembeli perorangan, para pengelola resor atau villa juga tertarik membeli
produk asli dari kawasan sejuk Tomohon ini. Pengiriman rumah bongkar pasang ini
juga disertai para tukang kayu yang akan merangkai ulang rumah di lokasi akhir.
Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi
Sulut, rumah unik ini sudah tersebar di lebih dari 30 negara. Para pembeli
datang dari Asia Tenggara, Asia Timur, Eropa, serta Amerika Serikat. Ekspor
juga dilakukan ke Tanzania, Australia, Selandia Baru, Maladewa, Argentina, dan
Meksiko. “Rumah panggung Woloan diminati pasar ekspor karena memiliki
karakteristik dan ciri khas yang berbeda. Apalagi materialnya berasal dari kayu
tropis yang terkenal bagus dan kuat,” kata Kepala Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Sulut Edwin Kindangen seperti dikutip dari Antara.
Bahan Baku Berkurang
Begitu masifnya permintaan rumah panggung mengancam
kelestarian bahan baku kayu besi, nyatoh, dan cempaka. Produksi rumah panggung
dari Woloan telah dicoba dengan bahan baku kayu kelapa, akan tetapi kesulitan
memasarkannya karena kurang diminati oleh konsumen. Oleh karena itu perlu
adanya jenis-jenis kayu lain yang dapat menggantikan (substitusi) ketiga jenis
kayu di atas. Tentunya, supaya industri rumah panggung knock-down di
Desa Woloan tetap berjalan tanpa mengalami kesulitan pasokan bahan baku kayu.
Jenis kayu substitusi tersebut tentunya harus memiliki
sifat-sifat yang relatif sama dengan ketiga jenis kayu sebelumnya terutama
sifat fisik dan mekanisnya serta tetap diminati oleh konsumen. Menurut peneliti
kehutanan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sentot Adi Sasmuko,
penelitian sifat fisik dan mekanik beberapa jenis kayu pengganti bahan baku
rumah panggung Woloan pernah dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado dan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Bogor. Jenis kayu yang diteliti
meliputi aliwowos, rorum, bugis, binuang, bolangitang, dan kenari yang berasal
dari hutan di Bolaang Mongondow Utara.
Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kayu
aliwowos tergolong paling berat diikuti berturut-turut rorum, bugis, kenari,
binuang, dan yang teringan adalah kayu bolangitang. Selain itu keenam jenis
kayu tersebut tergolong mempunyai penyusutan yang relatif kecil atau stabil.
Sementara itu berdasarkan nilai kerapatan, keteguhan lentur statis maksimum,
keteguhan tekan sejajar serat dan keteguhan gesernya, maka kayu aliwowos
tergolong kelas kuat I. Sedangkan kayu rorum dan bugis termasuk kelas kuat II.
Kayu kenari termasuk kelas kuat III dan binuang dan bolangitang termasuk kelas
kuat IV.
Berdasarkan sifat-sifatnya, maka keenam jenis kayu tadi dapat
dimanfaatkan bagi keperluan bahan baku pengganti rumah panggung dari Woloan
untuk menggantikan jenis-jenis kayu yang selama ini dipakai. Sehingga industri
rumah kayu khas Tomohon dan Sulawesi Utara ini tetap lestari dan memberikan
kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Post a Comment