Photograph of Sayyid `Uthman with his royal decoration, ca. 1900. [KITLV 99165]
Lebih dari
seratus tahun lalu, seorang habib bernama Sayyid Usman bin Yahya juga pernah
bikin geger karena doanya di Masjid Pekojan, Batavia, pada 2 September 1898.
Dia mendoakan
Ratu Wilhelmina panjang umur, sejahtera, dan sehat senantiasa. Dia juga berdoa
semoga Kerajaan Belanda bersinar terang dan rakyat Hindia Belanda dikaruniai
hasil bumi, perkebunan, dan tambang.
Kemudian Habib
Usman bin Yahya meminta pemerintah Hindia Belanda turut menyebarluaskan doa ini
ke luar Batavia. “Ke antero Jawa, dan menurut Java-Bode yang
menurunkan berita tentang doa ini sehari setelahnya, juga sampai ke Madura,”
ungkap Nico J.G. Kaptein dalam “The Sayyid and The Queen: Sayyid Uthman on
Queen Wilhelmina’s Inauguration on the Throne of the Netherlands in 1898”,
termuat di Journal of Islamic Studies, Volume 9, Nomor 2, 1998.
Doa Habib Usman bin Yahya mendapat kecaman keras dari sejumlah umat Islam di Pekojan, Jawa, , Singapura , bahkan termasuk oleh kalangan Arab dan keturunan Arab sendiri, karena di dalam untaian do‟a yang dituliskan terdapat kata-kata pujian untuk Ratu Wilhelmina dan pihak kolonial Belanda. Bahkan doa tersebut diperbanyak dan dibagibagikan kepada khalayak luas.
“Terus-menerus menulis secara kotor dalam
surat kabar berbahasa Arab. Mereka terus merusak nama baik Sayid Usman dengan
surat selebaran khusus yang dicetak di Surabaya,” sebut Snouck Hurgronje
dalam Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada
Pemerintah Hindia Belanda Jilid IX.
Doa Habib
Usman bin Yahya untuk Ratu Belanda dalam bahasa Arab. (Nico J.G. Kaptein,
Arnoud Vrolijk, dan Liesbeth Ouwehand dalam Sayyid 'Uthman of Batavia
[1822-1914] A Life in the Service of Islam and the Colonial Administration).
Melalui doa
kontroversial yang ditulisnya itu, akhirnya pada 31 Agustus 1899 Sayyid Usman
dianugerahi pemerintah kolonial sebagai anggota Orde of the Netherlands Lion
(Rezim Penguasa Belanda).
Snouck membaca
beberapa surat dan berita di surat kabar tentang keberatan sejumlah orang
terhadap doa Habib Usman bin Yahya. Sebagian mereka menyebut Habib Usman bin
Yahya “berlagak beragama di hadapan orang-orang seagama”. Lainnya
mempertanyakan “kesalehan apa yang masih tersisa dari dirinya?”
Aqib Suminto
dalam Politik Islam Hindia Belanda mencatat, tak sedikit pula yang
menyebut doa Habib Usman bin Yahya sebagai “Khutbah Penjilat”.
Habib Usman bin
Yahya adalah ulama terkemuka di Batavia sepanjang abad ke-19. Dia lahir pada 2
Desember 1822. Dia mempelajari ilmu-ilmu agama meliputi fikih (hukum-hukum
Islam), tasawuf, akhlak, tauhid, tata bahasa Arab, tafsir, dan hadis dari
berbagai guru di Makkah, Madinah, Mesir, Aljazair, dan Istanbul.
Sepulangnya ke
Batavia pada 1862, Habib Usman bin Yahya membuka pengajaran keagamaan kepada masyarakat.
Namanya mulai kesohor. Berkat keluasan dan kedalaman ilmu fikihnya, dia
mendapat gelar Mufti Betawi. Dia agak berat menerimanya lantaran merasa belum
cukup mempunyai ilmu.
Tapi karena
banyak orang terus mendatanginya dan bertanya banyak kepadanya, dia menerima
gelar itu. Dia beberapa kali mengeluarkan fatwa terkait masalah kehidupan
sehari-hari masyarakat. Karena itu, Habib Usman bin Yahya juga mempunyai dasar
ketika dia mendoakan Ratu Belanda.
Dalam fatwanya
pada 24 September 1898, seperti dikutip dari Nico Kaptein, Habib Usman bin
Yahya menyatakan doa kepada penguasa non-muslim diperbolehkan sepanjang
penguasa tersebut mengizinkan dan menjamin umat muslim untuk menjalankan
ibadahnya.
Habib Usman bin
Yahya juga menerangkan tugas Kerajaan Belanda dan pemerintah Hindia Belanda
adalah menjaga kehidupan, harta benda, dan agama umat muslim di Hindia Belanda.
Karena itu, doa untuk Kerajaan Belanda dan pemerintah Hindia Belanda dapat
dipandang sebagai bentuk dukungan dan sarana spiritual untuk mewujudkan tugas
itu.
Habib Usman bin
Yahya mengakui tidak mudah untuk membuat keputusan tersebut. Dia sadar
posisinya sebagai mufti ibarat jembatan bagi dua pihak: umat muslim dan
pemerintah Hindia Belanda. Dia menjembatani dua kepentingan berbeda dari dua
kelompok itu. “Kadang menempatkan Sayid Usman dalam keadaan serba salah,” tulis
Aqib Suminto.
Poster berisi
puisi pujian untuk Ratu Wilhelmina yang dibuat oleh anak Habib Usman bin Yahya
dalam perayaan 25 tahun penobatan Ratu Wilhelmina pada 1923. Doa Habib Usman
bin Yahya untuk Ratu Belanda dalam bahasa Arab. (Nico J.G. Kaptein, Arnoud
Vrolijk, dan Liesbeth Ouwehand dalam Sayyid 'Uthman of Batavia [1822-
1914] A Life in the Service of Islam and the Colonial Administration)
Tapi di sisi
lain, Habib Usman bin Yahya memandang posisinya memiliki peluang untuk
membangun hubungan baik antara dua kelompok itu. Itu diperlukan untuk menjamin
adanya kemakmuran bagi umat muslim di Hindia Belanda.
Doa untuk Ratu
pun sebenarnya bukan inisiatif Habib Usman bin Yahya. Permintaan atas doa
tersebut datang dari F.W.M Hoogenstraaten, Residen Batavia. Tapi Snouck
Hurgronje telah memperingatkan bahwa doa semacam itu tak perlu karena akan
mengundang kasak-kusuk di kalangan umat muslim dan citra buruk bagi pemerintah
Hindia Belanda.
Habib Usman bin
Yahya tak menggubris peringatan itu. Alasannya, “Kalau ia menolak memenuhi
permintaan dari kepala daerah, akan menimbulkan kesan keliru padanya,” tulis
Snouck, menirukan tanggapan Habib Usman bin Yahya.
Pada akhirnya,
peringatan Snouck terbukti benar. Umat muslim tak hanya menyerang Habib Usman
bin Yahya, tapi juga pemerintah Hindia Belanda. “Doa tersebut telah
mengakibatkan arus pernyataan-pernyataan yang menghina terhadap pemerintah
Belanda,” sebut Snouck.
Habib Usman bin
Yahya tampil terdepan membela pemerintah Hindia Belanda. Dia menghadapi cercaan
dan serangan itu dengan argumentasi yang berlandaskan ilmu agama. Tak semua
orang menerimanya. Tapi tak sedikit pula yang membelanya.
“Hukum shara
sudah haruskan/ kepada raja kita doakan supaya umurnya Allah panjangkan/ kedua
tetap kerajaan yan didudukkan; governemen juga punya kuasa/ yang diperintahkan
kampung dan desa-desa.” Begitu syair dukungan bagi Habib Usman bin Yahya dari
Abdullah al-Misri, penyair Palembang yang menetap di Kampung Petamburan pada
1898.
Meski pernah
melakukan hal kontroversial, nama Habib Usman bin Yahya tetap dihormati sebagai
ulama terkemuka Betawi. Makamnya di Duren Sawit, Jakarta Timur, selalu
penuh peziarah hingga hari ini.
Post a Comment